Isu-Isu Administrasi Pendidikan
Siluetsenja.com, 24/01/2022 10:34
Pict By. Busniess Insider |
A. Latar
Belakang
Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan
kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai
pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat
dari mutu pendidikan yang diterapkannya. Pendidikan yang tepat dan efektif akan
melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan
inovasi yang tinggi.
Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan
dan menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi
perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan
mendapat dukungan penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar
sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat
mereka.
Harus kita akui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia
masih jauh dari yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya.
Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional
begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian
mayoritas rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas
kesehariannya.
Untuk itu, siluetsenja.com akan mencoba
berbagi topik seputar isu-isu dalam administrasi pendidikan dengan harapan para
pembaca khususnya kaum pengajar dapat bersikap kritis terhadap segala kebijakan
pemerintah dan meresponntanggap demi tercapainya pendidikan yang lebih baik.
Identifikasi
Isu-isu Administrasi Pendidikan
Dengan
menggunakan pendekatan psikologi dan pendekatan pendidikan, penulis
menelaah isu-isu administrasi pendidikan yang berkembang, antara lain :*
1. Konstitusi
dan kebijakan pendidikan
Ketentuan UU Sisdiknas menyebutkan, pendidikan
kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk
pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Kurikulum pendidikan
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai
tujuan pendidikan, dan sekaligus digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar pada berbagai jenis dan tingkat sekolah.
Kurikulum menjadi dasar dan cermin falsafah pandangan
hidup suatu bangsa, akan diarahkan kemana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa
ini di masa depan, semua itu ditentukan dan digambarkan dalam suatu kurikulum
pendidikan.
Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang untuk
menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia dan
haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
3. Guru
dan pendidikan
Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka
tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga
berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu
meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain
yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara
bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak
hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi
katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat
tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik
maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek
komunikasi.
Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus
mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang
semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan
sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup
mengasingkan diri.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga
kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, apabila diutarakan sekaligus
merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi.
Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena
dipandang dari sudut guru dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah
nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada
khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama
beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga
kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik,
khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan
tugas profesional.
Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini
tergantung 3 elemen pokok yaitu :
1.Orang yang disiapkan menjadi guru
ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu
atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur
pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat
dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang
pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik.
Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu
pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar
bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya
orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya
sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi
guru.
2.Guru tidak hanya harus menguasai
satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus
juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya.
Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang
dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang
kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
3.Pendidikan terhadap guru atau
tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar
intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara
ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan.
Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga
pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam
masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan
panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan
dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan.
Untuk ini orang harus aktif mempelajarinya dan
mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memperhatikan orang
itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih
berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
4. Ujian Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian
yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam
beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di
masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan
mutu pendidikan.
Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan
dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat
mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga
siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan
hasil yang sebaik-baiknya.
Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang
merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang
sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran
yang sedang kita kembangkan.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada
kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari
pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah
pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan
psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan
dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk
kepentingan diluar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang
kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh
karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan
kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik
dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan
lainnya.
Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat
ini belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering
terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti,
kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
Periode 1980-2000 mulai diselenggarakan ujian akhir
nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model
ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok,
sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi
pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan
ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang
tertera di buku rapor.
2001-sekarang Ebtanas diganti dengan penilaian hasil
belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak
2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara
individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal
3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6.
Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan
nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal
tidak diberlakukan lagi.
Pelaksanaan UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai
pihak, terutama dari komunitas pendidikan di Tanah Air. Apa UN relevan menjadi
senjata peningkat mutu dan membentuk standardisasi pendidikan nasional?
Kalangan pendidikan pun melah menganggap bahwa UN justru tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan berbagai program pemerintah lainnya.
Peningkatan kualitas dianggap cukup lewat tes.
Padahal, kualitas hanya dapat diperoleh lewat proses. Pemerintah justru harus
melihat faktor-faktor penentu berjalannya proses dan sejauh mana itu sudah
terpenuhi di sekolah.
Penerapan standard tunggal evaluasi hasil belajar
dalam bentuk ujian nasional saat ini tampaknya masih sulit diterapkan di
Indonesia. Sulitnya penerapan standar tunggal hasil belajar itu berkaitan erat
dengan masih tingginya tingkat disparitas kualitas antarsekolah di Indonesia.
”Mengacu pada PP No 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, penilaian pendidikan
tidak hanya dilakukan dengan mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup
proses belajar-mengajar dan upaya pencapaian tujuan yang dilakukan.
Kalau sekarang proses belajar-mengajarnya saja masih
sangat berbeda satu sama lain kualitasnya, hasilnya tentu juga akan sangat
berbeda.
Arena pendidikan dari wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya) pun
menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan.
Perbedaan sarana pendidikan di lain wilayah pun diungkapkan Ketua MPR-RI, Hidayat Nurwahid, menjadi salah satu sebab tidak tepat menjadikan ujian nasional standar kelulusan siswa. Menurutnya, hal tersebut menyebabkan dunia pendidikan menjadi pasif dan apatis. Sebab, banyak sekolah menginginkan siswanya lulus dan menempuh cara-cara curang untuk menggapainya. Tidak aneh pula, harapan mendulang anak-anak didik lulus pun dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan melakuan kecurangan.
5. Akses dan equity pendidikan
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta
perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi.
Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi,
diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu
ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah.
Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam
mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah
masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal
yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini
perlu ditempuh strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas
adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat
miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk
Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007).
Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama
dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang
masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya
kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di
Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan pemerataan
pendidikan non formal.
a. Pemerataan
Pendidikan Formal
Pada jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan
akses dan peningkatan pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama,
terutama bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak
usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan
pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah
terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang.
Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan
pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar
9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara
daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan
sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan
untuk kalangan elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya
sebagai kalangan atas.
Untuk pendidikan tinggi persoalannya menyangkut
pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara
dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak
yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam
pendidikan tinggi.
Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang
cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada
jenjang perguruan tinggi. Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan
tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata.
Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di
pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan
kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi.
Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI,
UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi
pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan
tinggi.
Untuk bisa kuliah di universitas dan institut
terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah.
Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala
komersialisasi pendidikan tinggi.
Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat
elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan
makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme.
Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti
diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.Prinsip dasar pemerataan ini
sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk
memperoleh pelayanan pendidikan yang baik.
Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes
itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang
berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas
bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi
dengan biaya yang mahal itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di
Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).
b. Pemerataan Pendidikan Nonformal
Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan
akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga
menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non
formal. Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal
perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan
berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan jumlah anak yang ikut
merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini dihitung berdasarkan angka
partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum.
Selain itu pemerintah akan mengurangi tingkat
ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan yang bersifat gender.
Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6
ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti
dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994.
Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk
Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan
Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan
pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya
kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif,
lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang menanggungnya”.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia
untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun
2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar
jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95
persen.
Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum seluruh
rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar. Kemajuan teknologi
menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan pendidikan
kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil.
Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar
orang-orang yang kurang beruntung ini secara ekonomi ketimbangs menyediakan
akses yang tak terjangkau oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan
sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat
menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang
bersamaan.
Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan
pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip
teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan
Nasional.
7. Kekerasan disekolah;
Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi.
Beberapa kali kasus selalu terjadi, baik sekolah kota maupun disekolah yang ada
di desa.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan
kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada
tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah.
"Guru yang
melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri
menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah,"
katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis
anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses radikalisme terjadi.
Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari menumbuhkan sikap
radikal," ujarnya.
Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002
pasal 59 jelas menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti kekerasan.
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk
menjadi tenaga pengajar.
8. Mutu pendidikan;
Angka
partisipasi sempat menurun ketika krisis, namun segera meningkat karena
disebabkan salah satunya oleh pengenalan program beasiswa
dan dana untuk sekolah yang dimaksudkan untuk menjamin
setiap anak bisa bersekolah.
Reaita yang terjadi
adalah:
1.
Tidak semua anak bersekolah.
Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat
sekitar 20 persen anak usia sekolah
menengah pertama yang masih belum bersekolah.
2.
Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah
lebih dini. Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah
pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya,
lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka
partisipasi dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka
partisipasi murni dari kelompok seperlima
terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok
termiskin.
3. Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala. Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen
Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa
Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara
Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar
yang memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat
tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum.
9. Teknologi
pendidikan;
Di dunia pendidikan pembahasan
mengenai pentingnya teknologi (teknologi pendidikan) dalam Kegiatan Belajar /
Mengajar (KBM) muncul hampir setiap hari. Mengapa begitu? Karena pendidikan
termasuk industri yang paling besar di dunia. Jadi untuk manufakturer atau
distributor produk atau jasa teknologi, pendidikan adalah pasaran yang sangat
menarik. Seharusnya ini tidak sebagai masalah kalau produk-produk dievaluasikan
dan diuji coba di dunia pendidikan oleh Ilmuwan Teknologi Pendidikan sebelum
pembahasanya masuk ke sekolah-sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan.
Dalam berbagai hasil penelitian dan
tulisan mensinyalir ada sekitar 70 s/d 90% guru dalam pemanfaatan kemajuan TIK
dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain dianggap masih gagap teknologi.
Jika kondisi ini benar demikian, alangkah menyedihkan dan bahkan menyakitkan,
betapa tidak, sebab di tengah didengungkannya pembelajaran interaktif
(e-learning)*
10. Dana
pendidikan;
Menambahkan dana pendidikan itu memang perlu namun,
untuk apa penambahan tersebut dilakukan jika harus mengalami kebocoran
dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan debit air bersih. Jika debit
ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi, akhirnya penambahan itu
akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang sampai di pelanggan
bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal melainkan kebocorannya.
Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum
penambahan dana adalah dengan menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana
bantuan operasional sekolah (BOS) yang dialirkan ke daerah-daerah sudah
sepatutnya diawasi pemakaiannya oleh pemerintah daerah. Jangan sampai dana
tersebut sampai pada tangan-tangan yang tidak berhak mendapatkannya. Jika dana
BOS ini sudah terealisasi dengan baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan
seragam sekolah tidak lagi harus dipermasalahkan.
Jika perlu, lembaga auditor independen bisa dibentuk
untuk mengecek aliran dana. Lembaga ini bisa terdiri dari perwakilan orang tua
murid dibantu beberapa pihak pakar pendidikandan juga auditor. Tentu saja untuk
masalah ini, harus juga dibantu dengan transparansi pemerintah daerah untuk mau
menunjukkan aliran dana pendidikannya.
Lebih jauh lagi, aliran dana pendidikan ini juga harus
jatuh kepada orang-orang yang membutuhkan tidak sebatas pada sekolah-sekolah.
Artinya, harus ada jaminan bahwa orang-orang yang tidak mampu akan mendapatkan
akses pendidikan.
Oleh karena itu, dalam hal ini sekolah memiliki kewajiban untuk merangkul orang-orang tidak mampu untuk bersekolah karena sudah mendapatkan dana BOS tersebut. Penambahan dana memang baik di satu sisi. Namun jika hal ini tidak diimbangi dengan menambal kebocoran dana pendidikan itu sendiri, semuanya akan menjadi sia-sia. Semoga ada itikad baik untuk melakukan keduanya sehingga akses menuju pendidikan sembilan tahun dapat tercapai bagi semua anak Indonesia.
0 Response to " Isu-Isu Administrasi Pendidikan"
Post a Comment