Saddudz Dzariah
Siluetsenja.com, 28/01/2022 08:32 am
Pict By. Facebook |
Dalam kehidupan
sehari-hari setiap orang pasti melakukan serangkaian proses guna
melakukan perbuatan yang secara sadar mempunyai tujuan tertentu yang jelas
tanpa mempersoalkan apakah tujuan tertentu baik atau buruk, mendatangkan
manfaat atau menimbulkan mudharat.
Perbuatan pokok yang di
tuju seseorang telah di atur oleh syara’ termasuk ke dalam hukum takifli
lima atau di sebut al-ahkam
al-khamsah. Melakukan perbuatan pokok yang di suruh atau yang di larang
harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya, perbuatan itu ada
yang telah di atur oleh hukum syara’ dan ada pula yang tidak di atur secara
langsung,
Persoalan yang di
perbincangkan para ulama adalah perubuatan perantara (pedahuluan) yang belum
mempunyai dasar hukumnya. Perbuatan perantara ini disebut oleh ahli Ushul dengan adz-dzari’ah
Realita yang terjadi adalah amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri. Oleh karena itu, Siluetsenja.com mencoba mengkaji dan sedikit membahas dari reverensi yang di dapat, dengan harapan adz-dzariah dapat di pandang tanpa awam oleh masyarakat muslim.
A.
Pengertian Saddu adz-Dzari’ah
Saddud
Dzari’ah terdiri dari dua kata, Saddu dan Dzari’ah. Saddu bermakna penghalang
atau sumbatan, Dzari’ah berarti jalan. Saddu adz-Dzari’ah artinya menutup
sarana. Sedang menurut Istilah Saddu adz-Dzari’ah Saddu ialah penyumbat semua
jalan yang menuju pada kerusakan atau maksiat. Kebalikannya adalah fath adz-Dzari’ah,
yaitu membuka jalan yang menuju kepada kebaikan.*
Secara
lughawi (bahasa), adz-dzari’ah berarti al-washilah (perantara). berikut beberapa definisi tentang adz-dzari’ah:
·
Ibnu Qayim : “ apa-apa
yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu”
·
Asy-Syaukani: “masalah
(sesuatu) yang di lihat secara lahir adalah mubah (boleh), tetapi membawa
kepada perbuatan yang terlarang.”
·
Asy-Syatibi: “ segala yang
membawa kepada sesuatu yang terlarang, yang mengandung mafsadah (kerusakan).”
Muhammad
Abu Zahrah mendefinisikan dzari’ah adalah wasilah atau jalan yang menyampaikan
kepada tujuan yang haram atau yang halal. Jalan yang menyampaikan kepada yang haram hukmnya haram, dan
cara menyampaikan kepada yang halal
hukumnya halal, dan apa yang
menyampaikan kepada yang mubah hukumnya mubah, serta apa yang menyampaikan
kepada yang wajib hukumnya adalah wajib pula.*
Misalnya,
berzina itu haram, maka jalan atau cara yang mengarah terjadinya zina adalah
haram, seperti melihat aurat wanita. Shalat jum’at adalah wajib, maka
meninggalkan sesuatu demi untuk terlaksananya ibadah shalat Jum’at adalah wajib
pula, seperti meninggalkan jual beli.
B. Objek Saddu Dzari’ah
Objek
Saddu Dzari’ah adalah perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang,ada
kalanya berupa :
a. Dzari’ah
Qawiyah
Perbuatan
itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
b. Dzari’ah
Dha’ifah (jalan yang lemah)
Perbuatan itu mungkin
menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
C. Pengelompokan Saddu
adz-Dzari’ah
Dengan
melihat beberapa segi Dzari’ah di kelompokam menjadi beberapa aspek:
1. Dari
segi akibat (dampak) yang ditimbulkan, Ibn Qayyim membagi dzari’ah menjadi
empat, yaitu:*
a. Dzari’ah yang pada
dasarnya membawa kerusakan seprti meminum minuman yang memabukan membawa kepada
kerusakan atau mabuk.
b. Dzari’ah yang
ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang
merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja
seperti mencaci sembahan agama lain.
Menikah pada dasarnya
boleh, namun karena dilakukan dengan niat menghalakan yang haram menjadi tidak
boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain hukumnya mubah, namun karena cara
tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah.
c. Dzari’ah yang semula
ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai
juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya,
seperti berhiasnya seorang perempuan yang baru kematian suami dalam masa iddah.
Berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru
baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya menjadi lain.
d. Dzari’ah yang semula di
tentukan untuk mubah namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan
kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat
dipinang.
2. Dari
segi kerusakan kerusakan yang di timbulkan, Abu Ishaq asy-Syatibi membagi
Dzariyah menjadi:*
a.
Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah
itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Misalnya menggali lubang di
tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap, maka setiap orang
yang akan keluar rumah itu pasti akan terjatuh dalam lobang. Menggali lubang
itu boleh, namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi demikian akan
mendatangkan kerusakan.
b.
Dzari’ah yang membawa kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan
besar akan timbul kerusakan/akan dilakukan perbuatan yang dilarang. Misalnya,
Menjual anggur kepada pemilik minuman keras. Menjual anggur itu boleh &
tidak selalu anggur dijual unruk dijadikan minuman keras.
c. Dzari’ah
yang membawa kepada perbuatn terlarang menurut kebanyakannya. Dzari’ah itu
tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya
perbuatan yang terlarang. Misalnya, Jual beli Kredit, Jual beli kredit tidak
selalu membawa kepada riba, namun sering kali dijadikan sarana untuk riba.
d.
Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan/ perbuatan terlarang.
Perbuatan ini dilakukan belum tentu akan menimbulkan kerusaan. Misalnya,
Menggali lubang di kebunn sendiri yang jarang dilalui orang, karena tidak ada
orang yang lewat tidak ada orang yang terjatuh, namun tidak menutup kemungkinan
ada orang yang terjatuh.
D. Pandangan Ulama Tentang
Saddu adz-Dzari’ah
Kalangan ulama
dengan Malikiyah yang dikenal banyak meggunakan faktor mashlahat
sendirinya juga banyak menggunakan metode saddu adz-dzari’ah. Mustafa
Syalabi mengelompokan beberapa pendapat ulama tentang saddu adz-dzari’ah dalam
tiga kelompok, yaitu:*
1.
Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti, atau berat dugaan akan
menimbulkan kerusakan.
2.
Dzari’ah yang kemungkinan mendatangkan kemudharatan atau larangan.
3.
Dzari’ah yang terletak di tengah-tengah antara kemungkinan membawa kerusakan
dan tidak merusak.
Dasar
pegangan ulama untuk menggunakan sddu adz-dzariah adalah kehati-hatian
dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat:*
درأالفاسد مقدم علي جلب الصا لح
“Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil
kemaslahatan.”
Bila
antara yang halal dan haram bercampur, maka prinsipnya:
ادا اجتمع الحلا ل وال والحر ام غلب الحرام
“Bila
berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram mengalahkan yang halal.”
Sebagai
pegangan ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian dalam beramal, adalah
sabda Nabi Muhammad saw:*
دع ماىرىبك
الى مالاىرىبك
“Tinggalkanlah
apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak meragukanmu.”
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudah jelas. Yang
terletak diantara keduanya termasuk urusan yang meragukan (syubhat). Ketahuilah
bahwa ladang Allah itu adalah padang yang diharamkanNya. Siapa yang bergembala
disekitar padang larangan Allah itu diragukan akan terjatuh kedalamnya..”
Ulama
yang menolak saddu adz-dzari’ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah.
Penolakan itu dijelaskan Ibnu Hazm
sebagai berikut:
a.
Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan saddu adz-dzari’ah
itu di lemahkan dari segi sanad dan maksud artinya.
b. Dasar
pemikiran saddu adz-dzari’ah adalah
ijtihad dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama
Zahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar)
c. Hukum
syara’ hanya menyangkut apa yang diteteapkan Allah dalam al-Qur’an/dalam sunnah
dan ijma’ulama.
Adapun
yang ditetapkan di luar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Oleh karena
itu cara ini di tolak, sesuai dengan firman Allah
ولا
تقولوأ لما تصف ألسنتكم ا لكذ ب هذا حلل وهذا حرام لتفترواعللى ا الله الكذب
“Janganlah
kamu berdasarkan ucapan lisanmu suatu kebohongan, ini halal dan ini haram,
karena mengada-ada terhadap Allah dalam bentuk bohong.”
Imam
Ibnu Taimiyah mengemukakaan beberapa alasan dalam menggunakan saddu
adz-dzari’ah sebagai dalil, yaitu:
1.
Hadis Rasulullah
2.
Allah telah melarang
laki-laki meminang perempuan yang berada dalam masa iddah, karena dapat
menyebabkan terjadinya sesuatu yang dilarang, yaitu melaksanakan akad nikah
pada masa iddah.
3.
Nabi melarang jual beli
dan salam sealigus dalam satu akad, karena dikhawatirkan akan terjadi akad
ribawi.
4.
Nabi dan paraa sahabatnya
melarang seorang yang berpiutang menerima hadiah dari orang yang berhutang,
supaya hal ini tidak dijadikan alasan
orang tersebut menunda pembayaran hutangnya karena sudah memberi hadiah,
yang dengan itu orang akan terjatuh dalam praktek ribawi.
5.
Allah melarang pembunuh
enerima warisan dari orang yang dibunuhnya, supaya tidak di jadikan sebagai
sarana untuk memperoleh warisan.
6.
Para sahabat sepakat
dibunuhnya orang banya karena karena membunuh satu orang, hal ini supaya tidak
ada orang yang melakukan jarimah tanpa mendapatkan hukuman.
7.
Allah melarang RasulNya
mengeraskan bacaa al-Qur’an jetika masih tinggal di Mekkah, untuk menghindari
caci maki orang-orang kafir Quraisy terhaddap al-Qur’an, Malaikat yang
menurunkan, dan Nabi yang menyampaikannya.
a. Kesimpulan
Dzari’ah adalah wasilah
atau jalan yang menyampaikan kepada tujuan yang haram atau yang halal. Saddu
adz-Dzari’ah ialah penyumbat semua jalan yang menuju pada kerusakan atau
maksiat. Kebalikannya adalah fath adz-Dzari’ah, yaitu membuka jalan yang menuju
kepada kebaikan.
Objek Saddu Dzari’ah
adalah perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang, Objek ini di bagi
dua, yaitu :
a. Dzari’ah Qawiyah
b. Dzari’ah Dha’ifah
(jalan yang lemah)
Dzari’ah di kelompokam
menjadi beberapa aspek
1. Dari segi akibat (dampak) yang
ditimbulkan,
2. Dari segi kerusakan kerusakan yang di
timbulkan,
Mustafa Syalabi
mengelompokan beberapa pendapat ulama tentang saddu adz-dzari’ah dalam
tiga elompok, yaitu:
·
Dzari’ah yang membawa kerusakan
secara pasti, atau berat dugaan akan menimbulkan kerusakan.
·
Dzari’ah yang kemungkinan
mendatangkan kemudharatan atau larangan.
·
Dzari’ah yang terletak di tengah-tengah antara
kemungkinan membawa kerusakan dan tidak merusak.
Ulama yang menolak saddu
adz-dzari’ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah. Penolakan itu dijelaskan Ibnu Hazm.
Daftar
Pustaka
Suwarjin, MA,Ushul
Fiqh.Yogyakarta: Teras, 2012
Aibak Khutubudin, Metodologi Pembaruan Hukum
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008
0 Response to "Saddudz Dzariah"
Post a Comment